20 Jurus Inovasi Mengubah Banyuwangi
Oleh : Abdullah Azwar Anas
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2020
Tebal : 426 halaman
Banyuwangi bisa sefenomenal saat ini dikarenakan mereka fokus, bahkan sangat fokus terhadap 1 bidang, yaitu pariwisata. Dengan begitu Banyuwangi memosisikan diri dengan ujung tombak di sektor pariwisata.
Apa yang dilakukan oleh Banyuwangi memang bukan menciptakan sesuatu dari yang baru, karena akan membutuhkan upaya dan dana yang lebih besar, serta resiko kegagalan juga jauh lebih besar. Sehingga mereka tidak mau
"reinventing the wheel", artinya kenapa kita harus mengulangi dari awal. Akan lebih efektif dan efisien jika kita menyempurnakan dari sesuatu yang telah dikerjakan oleh orang lain.
Misalnya lomba balap sepeda terbaik nasional, yaitu Tour de Singkarak, dari sana mereka belajar mengenai bagaimana mengelola event balap sepeda secara profesional, mulai mengelola dari pemain, official dan penonton.
Untuk event internasional, Banyuwangi belajar dari Tour de Langkawi dan Tour de France. Dari sana mereka belajar bagaimana memperkuat paduan aspek olahraga, gaya hidup
(lifestyle) berbasis budaya lokal, ekonomi dan pariwisata.
Dari sana Banyuwangi membuat konsep sport tourism, yaitu event sepeda Tour de Ijen, yaitu event sepeda ini bukan sekedar event olahraga, tapi juga sebagai event pariwisata yang dibungkus sangat atraktif dan entertaining.
Sentuhan lokal yang mewarnai event sepeda tersebut misalnya saat akan memulai etape keempat para atlet mengenakan sarung dan peci. Di Ijen kita akan dapat meneyaksikan pesona
blue fire Kawah Ijen dimana
blue fire ini hanya ada 2 di dunia, selain satunya lagi di Islandia. Kita bisa menyaksikan
blue fire setelah 2 jam mendaki.
Banyuwangi juga didukung dengan banyaknya hotel dan homestay, hal ini menjadi
multiplier effect dari simpul pariwisata karena tentunya akan banyak orang yang berbondong-bondong pergi ke Banyuwangi yang tentunya dengan membawa uang.
Yang menjadi terobosan adalah penyelenggaraan Festival Toilet dan Kali Bersih sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.
Menarik, karena Banyuwangi menjadi terkenal tanpa marketing atau iklan, karena mereka percaya akan kekuatan dari storytelling, yaitu berita adalah cerita. Marketing mereka adalah dari cerita dari orang yang sudah mengunjungi Banyuwangi.
Dengan fasilitas yang mumpuni tersebut berhasil menciptakan memori untuk kembali.
Untuk kesenian, Banyuwangi mempunyai seni tari khas yaitu Tari Gandrung, yaitu tarian dengan aliran Jaipong dan Ronggeng. Yang menjadi unik adalah dikemas sebagai Gandrung Sewu, yaitu tarian ini dibawakan oleh seribu penari dari berbagai kalangan usia.
Dari Tari Gandrung ini kemudian tercipta Taman Gandrung Terakota, yang berdiri pada bulan September 2018 dan terletak di lereng Gunung Ijen dengan tinggi 2.443 meter. Taman Gandrung Terakota ini merawat dan meruwat tari gandrung. Tiap bulan diadakan Festival Lembah Ijen di amfiteater taman.
Saat ini sedang dilakukan pembangunan jalan tol ke kota Banyuwangi, namun meskipun sekarang ini Banyuwangi tidak ada jalan tol fisik, mereka memiliki jalan tol dunia maya. Yaitu teknologi IT misalnya
e-budgeting di pemerintahan,
e-zakat, dan teknologi informasi lainnya yang berguna untuk meningkatkan pelayanan antar daerah.
Ibarat sepakbola, Banyuwangi tidak menjadikan bertahan sebagai strategi mereka, namun mereka menggunakan strategi menyerang. Maksudnya sebelum masyarakat komplain atau bahkan demo, mereka terlebih dahulu melayani mereka secara optimal dengan meniru Steve Jobs, pendiri Apple, yang menganjurkan agar dekat-dekat dengan customer sehingga bisa menyelami kebutuhan mereka.
Dengan menerapkan
service excellence, sehingga konsumen agar tercerahkan atau
delight. Hal ini juga didukung dengan tidak hanya menangkap momentum, tapi juga dengan menciptakan momentum sebagai usaha dalam siklus kecepatan, yang terdiri dari 3 hal yaitu ciptakan momentum, temukan ide perubahan, dan lakukan eksekusi cepat.
Karena tanpa eksekusi cepat, sebuah strategi dan rencana kerja akan menjadi percuma tanpa implementasi. Visi saja tidak cukup tanpa dijalankan untuk menciptakan result.
Selain yang menjadi titik berat lainnya adalah detail, kontrol dan evaluasi. Namun
attention to detail ini berbeda dengan micro management. Karena dalam micro management tidak ada ruang dialog, dan tanpa alasan staf langsung diperintah, sehingga tidak tercipta mentoring dan pembelajaran.
Kunci lainnya adalah akurasi, penuntasan dan konsistensi.
Dan pada akhirnya sebuah hasil dari kerja keras Banyuwangi ini adalah merupakan gambaran dari
collaborative team, yang mampu meleburkan sekat-sekat birokrasi, yang unik, anti-mainstream, dan berhasil serta sukses.
#sinopsisbuku
#resensibuku
#potretbuku