The Uninhabitable Earth
Kisah tentang Masa Depan
Oleh : David Wallace-Wells
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2019
Tebal : 330 halaman
Sebuah paradoks Fermi atau yang disebut juga dengan Great Silence (Kesunyian Besar) mengatakan bahwa, jika alam semesta begitu luas dan besar, namun mengapa kita belum menemukan kehidupan cerdas lainnya seperti di Bumi?
Bisa jadi jawabannya cukup sederhana, yaitu iklim.
Karena sepanjang pengamatan para peneliti yang kita ketahui, tidak ada planet lain yang lebih cocok dibandingkan planet Bumi untuk menghasilkan kehidupan. Namun saat ini, akibat dari pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim, planet Bumi menjadi semakin terancam. Belum ada manusia modern yang pernah hidup di Bumi yang sepanas Bumi sekarang.
Saat ini memang pemanasan global yang terjadi sejak manusia menggunakan bahan bakar fosil, telah menyebabkan kenaikan suhu 1,1 derajat Celcius. Hal ini diakibatkan gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran tersebut menjebak panas di Bumi.
Kita cenderung meremehkan perbedaan angka kecil yang muncul dari peningkatan suhu 2 derajat, hingga 5 derajat. Mari kita bayangkan akibat yang ditimbulkan dari peningkatan suhu 2 derajat Celcius, yaitu lapisen es akan hancur, 400 juta orang akan kesulitan air, kota-kota besar di sekitar khatulistiwa menjadi tidak layak huni, gelombang panas akan dapat menewaskan ribuan orang.
Peningkatan suhu 3 derajat Celcius, Eropa selatan akan mengalami kekeringan permanen, kebakaran hutan semakin meluas dan merajalela.
Peningkatan suhu 4 derajat Celcius, akan terjadi tambahan 8 juta kasus demam berdarah, krisis pangan global, kematian terkait panas akan naik 9 persen dan kerusakan akibat banjir dari sungan akan meningkat pesat.
Peningkatan suhu 5 derajat Celcius, seperti yang terjadi pada 250 juta tahun yang lalu, akan mengakibatkan 96% spesies punah.
Hampir semua kepunahan massal diatas diakibatkan oleh gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Setidaknya di bumi telah mengalami 5 kepunahan massal, yaitu pada:
- 450 juta tahun yang lalu, yang mengakibatkan 86% spesies punah
- 70 juta tahun kemudian, yang mengakibatkan 75% spesies punah
- 100 juta tahun kemudian, yang mengakibatkan 96% spesies punah
- 50 juta tahun kemudian, yang mengakibatkan 80% spesies punah
- 150 juta tahun kemudian, yang mengakibatkan 75% spesies punah
Sungguh besar dampak yang akan diakibatkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karena itu kita tidak boleh menjadi egois karena dampak yang diterima adalah orang yang tinggal di tempat lain bahkan pada anak yang belum lahir.
Bagi kita yang awam, ingat lagi saat siang hari bekerja di kantor, lalu aliran listrik mati sehingga AC yang ada di ruangan tidak dapat berkerja untuk mendinginkan ruangan. Kita akan mengerti bagaimana tidak nyaman saat bekerja dalam suasana tersebut.
Diperkirakan pada tahun 2050 nanti akan terdapat 9 milyar AC (alat pendingin) berbagai macam jenis demi mengatasi panas tersebut, namun hal tersebut bukan lah solusi yang ekonomis dan bukan solusi yang "hijau".
71% planet Bumi sebenarnya tertutup air, namun yang merupakan air tawar hanya 2% dan yang mudah diakses hanya 1% saja. Sisanya sebagian besar terjebak dalam es.
Untuk penggunaannya, di seluruh dunia, 70% hingga 80% air tawar digunakan untuk produksi pangan dan pertanian, kemudian 10% hingga 20% untuk industri. Berdasarkan National Geographic, hanya 0,007% air yang tersedia di Bumi diperuntukkan bagi 7 milyar manusia.
Secara keseluruhan, menurut PBB, diperkirakan pada tahun 2050, sebanyak 5 milyar orang akan kesulitan air tawar.
Hal ini diperparah dengan banyak danau besar di dunia yang mengalami kekeringan, setidaknya dalam 100 tahun terakhir, yaitu diantaranya:
- Laut Aral di Asia tengah, kehilangan 90% volume
- Danau Mead di Las Vegas, kehilangan 400 milyar galon air dalam setahun
- Danau Poopo di Bolivia, sudah kering
- Danau Orumiyeh di Iran, kehilangan 80% air dalam 30 tahun
- Danau Chad, hampir kering secara total
Padahal diperkirakan selama 30 tahun ke depan, kebutuhan air dari sistem pangan dunia diperkirakan baik sekitar 50%, dari kota dan industri naik 50% hingga 70%, dan dari energi 85%.
Pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan es kutub mencair. Hal ini mengakibatkan efek domino, dimana penyakit purba yang sebelumnya beku dalam es hidup kembali. Hal ini mengakibatkan sistem kekebalan tubuh tidak tahu cara melawan penyakit purba tersebut. Diantaranya mikroba yang dimaksud adalah:
- Esktreofil berumur 32.000 tahun hidup kembali pada tahun 2005
- Bakteri berumur 8 juta tahun tahun hidup kembali pada tahun 2007
- Cacing yang membeku berumur 42.000 tahun hidup kembali pada tahun 2018
Selain itu, di Alaska para peneliti menemukan sisa-sisa flu 1918 yang dulunya menulari hingga 500 juta orang dengan menewaskan 50 juta orang, setara dengan 3% penduduk dunia. Dan pada tahun 2016, seorang anak meninggal akibat ketularan antraks dari bangkai rusa yang mati akibat bakteri tersebut pada 75 tahun lalu dan tersingkap saat es abadi mencair.
Cerita kuno tentang negeri Atlantis bisa terulang. Kisah ini telah memukau selama ribuan tahun. Semula adalah Plato yang bercerita mengenai sebuah kebudayaan yang telah tenggelam tersebut, yang kemungkinan berada di sebuah kepulauan kecil di Laut Tengah.
Dan jika tidak mampu menghentikan emisi gas rumah kaca, maka diperkirakan pada tahun 2100, akan ada sebanyak 5% penduduk dunia akan kebanjiran setiap tahun. Permukaan laut akan mengalami kenaikan mencapai 1,2 meter bahkan pada akhir abad ini dapat mencapai 2,4 meter.
Skenario terburuk, jika terjadi kenaikan suhu 2 derajat Celcius maka dapat menyebabkan kenaikan permukaan laut setinggi 6 meter. Hal ini akan menyebabkan Bumi kehilangan luas sebesar 1 juta kilometer persegi daratan. Daratan seluas itu setara dengan tempat hidup 375 juta orang.
Yang cukup miris adalah di Asia banyak kota besar yang berada di dekat permukaan laut, diantaranya Shanghai, Hong Kong, Mumbai dan Kolkata.
Termasuk Jakarta. Terlebih Jakarta merupakan kota yang tumbuh paling cepat di dunia, hari ini penduduk di Jakarta adalah 10 juta jiwa. Dan akhir-akhir ini kota tersebut berulang kali mengalami banjir dan penurunan tanah, sehingga diperkirakan Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050.
Untuk bencana banjir sendiri, Dewan Penasihat Sains Akademi Eropa mengatakan bahwa sejak tahun 1980 banjir yang terjadi sudah berlipat empat, dan berlipat ganda sejak tahun 2004.
Belum lagi akibat pemanasan global dan perubahan iklim, dalam 10 tahun terakhir laju pelelehan es di Antartika berlipat tiga. Pada tahun 1992 sampai 1997, lapisan es di Antartika telah kehilangan 49 milyar ton es setiap tahun.
Pada tahun 2012 sampai 2017, lapisan es di Antartika telah kehilangan 219 milyar ton es setiap tahun.