Wednesday, June 29, 2022

Mampukah Kita Bertahan?

Maaf, Tak ada gambar indah untuk perubahan iklim

Oleh : National Geographic

Penerbit : PT Gramedia Percetakan, 2015

Tebal : 130 halaman


Beberapa orang masih memandang perubahan iklim seperti memandang perbaikan mobil, yaitu mereka tahu seharusnya mereka peduli.

Padahal dari data menunjukkan bahwa bumi rata-rata menghangat 0,85 derajat Celcius sejak akhir abad ke-19. Pemanasan ini berbanding lurus dengan lonjakan emisi karbon.

Tahun 2015 menjadi titik balik dalam perjuangan melawan perubahan iklim, setelah terjadi 20 kali pertemuan internasional yang tidak berdampak pada jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer. 

Dimana selama masa tersebut jumlah karbon yang dilepaskan setara dengan seabad sebelumnya.
Titik balik ini ditandai setelah Amerika dan China sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia mengumumkan kesepakatan untuk mengurangi emisi. Lalu 6 perusahaan di Eropa menyatakan akan menerapkan pajak karbon.

Meski perubahan iklim dibahas oleh pemerintah dan konferensi internasional, namun sejatinya perubahan iklim merupakan masalah konsumsi perorangan.
Perusahaan yang cerdas akan menggunakan strategi lingkungan untuk membangun keunggulan kompetitif.

Membakar bahan bakar fosil memang relatif murah, sampai kita memperhitungkan penyakit pernafasan, banjir dan efek samping lain yang kemudian menjadi biaya sosial karbon.

Rekayasa iklim sebagai bentuk intervensi skala besar melawan perubahan iklim dengan tujuan untuk mendinginkan bumi, yaitu dengan penyingkiran karbondioksida, aerosol stratosfer, naungan matahari antariksa dan penyemaian awan laut.

Penyingkiran karbondioksida dilakukan dengan memulihkan hutan dan memicu pertumbuhan cepat plankton dengan membubuhkan debu besi. Pendekatan yang lain adalah dengan mengambil sejumlah kecil karbon dari udara.

Dunia berubah dengan sangat cepat, dan semakin banyak penyakit bumi, mulai dari kenaikan suhu, dan pengasaman laut hingga penggundulan hutan dan cuaca ekstrem.
Dari 37 miliar ton karbondioksida yang dilepas ke atmosfer setiap tahun, sekitar setengahnya diserap oleh lautan, hutan dan padang rumput.

Akibat perubahan iklim, esisir utara pulau Jawa, termasuk Jakarta sering terjadi banjir akibat permukaan laut naik, namun masalah utama sebenarnya yang terjadi adalah tenggelamnya kota itu sendiri.

Laju penurunan tanah di Jakarta tercatat 3 cm per tahun, bahkan ada yang tercatat 7.5 cm dalam 1 tahun. Jika tidak ditangani dengan baik, maka Jakarta bisa ambles 5 meter pada tahun 2025.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Stories of Crime and Detection

Related Posts