Oleh : Soleh Solihun
Penerbit : Qanita, 2009
Tebal : 236 halaman
Buku The King Is Dead adalah karya yang sangat personal dari Soleh Solihun — komika, musisi, dan jurnalis yang dikenal dengan gaya bicaranya yang jujur dan penuh humor satir. Dalam buku ini, Soleh menuliskan perjalanan hidup dan pandangan pribadinya tentang banyak hal: karier, cinta, agama, musik, industri hiburan, hingga persoalan eksistensial tentang hidup dan kematian.
Judulnya sendiri, The King Is Dead, bukan sekadar provokatif. Ia merefleksikan kesadaran tentang kefanaan dan pergantian zaman, termasuk bagaimana “raja-raja lama” — entah di dunia hiburan, pemikiran, atau nilai-nilai hidup — pada akhirnya harus digantikan oleh generasi dan cara pandang baru.
Buku ini berisi kumpulan esai dan refleksi pendek dengan gaya khas Soleh Solihun: blak-blakan, lucu, tapi penuh makna.
Beberapa gagasan utama yang muncul dalam buku ini antara lain:
Tentang Kejujuran Diri dan Otentisitas.
Soleh menolak untuk berpura-pura demi mengikuti arus popularitas. Ia menulis bahwa menjadi diri sendiri — meski dianggap aneh, nyeleneh, atau “tidak marketable” — jauh lebih penting daripada memuaskan publik.
Tentang Dunia Hiburan dan Popularitas.
Ia mengulas sisi gelap dunia komedi dan hiburan: persaingan, tekanan untuk selalu lucu, dan tuntutan pasar yang terkadang menggerus idealisme. Di balik tawa, ada perjuangan mempertahankan integritas.
Tentang Zaman yang Berubah.
“The King Is Dead” juga metafora bagi pergeseran nilai. Soleh menulis bahwa orang-orang dulu yang dianggap keren dan dihormati kini bisa dengan mudah tergantikan oleh figur baru di media sosial. Dunia terus berubah — dan tidak ada yang abadi.
Tentang Agama dan Kematian.
Dengan nada reflektif, Soleh berbicara tentang keimanannya, tentang bagaimana ia berusaha memahami Tuhan tanpa kehilangan nalar. Kematian di sini bukan sesuatu yang ditakuti, tapi dihadapi dengan kesadaran dan humor khasnya.
Tentang Hidup yang Sederhana dan Bermakna.
Ia menekankan pentingnya menikmati hidup apa adanya. Tidak perlu menjadi “raja” untuk merasa berharga — cukup menjadi manusia yang jujur dan berguna.
Yang membuat buku ini menarik bukan hanya isinya, tetapi cara Soleh bercerita.
Ia menulis dengan gaya bahasa ngalor-ngidul tapi jernih, menggabungkan humor, kritik sosial, dan refleksi pribadi tanpa pretensi.
Buku ini terasa seperti mendengarkan stand-up comedy yang berubah menjadi renungan hidup — ringan tapi menggigit, lucu tapi menyentuh.
Lewat The King Is Dead, Soleh Solihun mengingatkan pembaca bahwa setiap orang, seberapa pun terkenalnya, akan “mati” pada waktunya — secara harfiah maupun simbolis.
Yang penting bukan berapa lama kita jadi “raja”, tapi apa yang kita tinggalkan setelah “tahta” itu runtuh.






