Saturday, January 18, 2020

Cultural Strategy

Memberdayakan Pemikiran Inovatif untuk Menciptakan Merek yang Tepat


Oleh : Douglas Holt & Douglas Cameron
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, 2014
Tebal : 470 halaman

Konsep dimana kekuatan pasar dapat dikumpulkan dengan mengembangkan pemikiran yang inovatif telah lama dipahami di luar dunia bisnis. Dengan pendekatan inovasi ini berarti kita melihat dari sudut pandang bahwa samudera biru adalah sebuah peluang yang belum termanfaatkan dan bisa dieksploitasi melalui kombinasi nilai unik yang belum pernah ada.

Untuk itu para ahli dan konsultan mempekenalkan inovasi kultural atau Cultural Strategy.

Contoh yang dikemukakan adalah produk minuman antara Coca Cola dengan Pepsi. Dimana Coca Cola menjadi juara dalam hal "kebahagiaan" sedangkan Pepsi unggul dalam hal "kegembiraan".

Kemudian contoh berikutnya adalah produk sepatu dan peralatan olahraga Nike, yang memandang "kinerja" secara lebih luas daripada sekedar berpikir bagaimana seseorang dapat menggiring bola dengan lebih baik di lapangan, sehingga Nike mempengaruhi orang dengan berpikir bahwa Nike membuat sepatu yang jauh lebih bagus dibandingkan yang lain.

Hal ini dikarenakan perbedaan fungsional tidak cukup besar untuk dapat menarik perhatian konsumen masal.

Pada tahun 1970, olahraga individual yaitu lari menjadi cabang olahraga yang sangat diminati dan cukup berkembang dari jumlah pesertanya. Orang-orang saat itu memilih lari atau joging untuk keluar dari gaya hidup yang santai dan melatih tubuh mereka agar dapat bersaing secara efektif di dunia kerja. Dan atlet lari yang disponsori oleh Nike adalah Joan Benoit.

Pada tahun 1985, Nike mensponsori pebasket tersohor, Michael Jordan, sebagai bentuk dalam mengikuti pemikiran kultural baru dengan mengandalkan mitos prestasi atlet. Saat itu siapa yang tidak kenal dengan sepatu Air Jordan.

Pada tahun 1988, iklan Nike saat itu cukup terkenal dan terngiang di kepala semua orang, yaitu berkat jargon "Just Do It". Sehingga memberikan motivasi pribadi bahwa "Siapa pun Anda, apa pun hambatan fisik, ekonomi dan sosial. Melompati batas tidak hanya memungkinkan, tetapi justru menunggu untuk diberdayakan".

Termasuk iklan Nike yang bertema "Revolution" yang menggunakan lagu "Revolution #9" karya John Lenon.

Nike secara cerdik mengemas periklanan sebagai model pemasaran yang harus membantu memahami bagaimana komunikasi Nike mengarahkan inovasinya.

Berbeda dengan Coca Cola, Pepsi dan Nike, produk minuman kopi dan cafe Starbucks juga dibahas dalam buku ini. Starbucks menggunakan strategi estafet modal budaya yang merupakan sebuah variasi yang cukup penting dalam model inovasi budaya.

Awalnya pada tahun 1971, Jerry Baldwin, Zev Siegel dan Gordon Bowker membuka outlet Starbucks. Dimana nama Starbucks diambil dari novel karya Melville. Starbucks merupakan tiruan dari bisnis kopi orang lain, yaitu Alfred Peet. Bahkan Starbucks membeli kopi dari Alfred Peet.

Pada tahun 1987, Howard Schultz, seorang praktisi pemasaran dari New York berkunjung ke Seattle, dan setelah minum secangkir kopi Starbucks segera menyimpulkan bahwa Starbucks memiliki potensi besar, dan kemudian mengakuisi Starbucks seharga $3.8 juta

Starbucks berusaha menarik konsumen umum ke dalam tingkatan modal kultural dan mengedukasi mereka dengan cara seperti para penggemar kopi kelas atas.

Starbucks menawarkan minuman kopi dengan cita rasa yang akrab di lidah yang dikemas dalam berbagai elemen pemasaran yang menampilkan keunggulan kultural yang unik. Perlu diketahui bahwa kopi dari Afrika Timur beraroma citrus dan anggur, sedangkan kopi dari Indonesia beraroma kacang dan lebih natural.

Starbucks merubah konsep dari toko khusus menjual biji kopi menjadi kafe yang fokus pada penjualan minuman kopi yang dapat dibawa pulang, baik berupa espresso, cappucino atau latte.

#sinopsisbuku
#resensibuku
#potretbuku

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Stories of Crime and Detection

Related Posts