Wednesday, August 27, 2025

Wow Marketing

Oleh : Hermawan Kartajaya

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2015

Tebal : 239 halaman


Buku Wow Marketing karya Hermawan Kartajaya menghadirkan sebuah konsep pemasaran yang menekankan pentingnya menciptakan pengalaman luar biasa bagi konsumen di era globalisasi dan digital. Hermawan, yang dikenal sebagai salah satu pakar pemasaran kelas dunia, menjelaskan bahwa praktik pemasaran tidak lagi cukup hanya sekadar menawarkan produk atau layanan dengan harga kompetitif. Dalam dunia yang semakin kompetitif, pelanggan ingin sesuatu yang lebih, yaitu pengalaman yang berkesan, emosional, dan relevan dengan kehidupan mereka.

Hermawan menekankan bahwa Wow Marketing adalah strategi untuk membuat pelanggan berkata “Wow!” saat berinteraksi dengan merek atau perusahaan. Hal ini hanya bisa dicapai dengan menggabungkan nilai fungsional, emosional, dan spiritual dalam setiap aspek pemasaran. Produk atau jasa yang hanya mengandalkan kualitas tanpa menghadirkan sentuhan emosional akan kalah oleh kompetitor yang mampu membangun keterhubungan lebih dalam dengan konsumen.

Buku ini juga menyoroti bagaimana teknologi digital, media sosial, dan globalisasi mengubah wajah pemasaran. Perusahaan harus mampu menciptakan komunikasi yang personal, cepat, dan interaktif. Konsumen saat ini tidak hanya ingin membeli produk, tetapi juga ingin merasakan bagian dari sebuah cerita atau komunitas. Oleh karena itu, Wow Marketing menekankan pentingnya storytelling, kreativitas, dan inovasi dalam membangun brand yang kuat.

Hermawan memberi banyak contoh kasus nyata, baik dari perusahaan global maupun lokal, yang berhasil menerapkan prinsip Wow Marketing. Misalnya, merek-merek yang mengutamakan layanan pelanggan yang luar biasa, inovasi produk yang menyentuh gaya hidup, hingga kampanye pemasaran yang menggugah emosi masyarakat. Semua ini menunjukkan bahwa “wow” bukan sekadar efek sesaat, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun loyalitas konsumen.

Selain itu, buku ini menekankan bahwa pemasaran modern harus memiliki dimensi human spirit. Artinya, strategi bisnis yang baik tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga memberi dampak positif pada masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian, Wow Marketing menjadi panduan bagi perusahaan yang ingin meraih sukses secara berkelanjutan dengan tetap mengedepankan nilai kemanusiaan.


Marketing 1.0 : Product centric marketing, dimana objektif perusahaan adalah menjual produk

Marketing 2.0 : Customer oriented marketing, dimana objektif perusahaan adalah memuaskan dan membuat customer loyal

Marketing 3.0 : Value driven marketing, dimana objektif perusahaan adalah membuat dunia yang lebih baik


Boo, adalah ekspresi customer yang mengalami kejadian menyebalkan. Proses recovery dari customer yang kecewa adalah sangat mahal. Mereka bisa dengan mudah mempengaruhi customer dan calon customer yang lain.

Argh, adalah ekspresi customer yang kecewa, diam dan langsung pergi. Mereka tidak akan datang lagi dan meninggalkan tanpa diketahui.

OK, adalah ekspresi customer yang tidak merasa tidak puas, tapi tidak merasa puas juga. Jika mereka bercerita, tidak akan ada yang merasa spesial juga.

Aha, adalah ekspresi customer yang tidak hanya terpapar dengan produk, tapi juga eksperience dari layanan. Mereka terkesan karena mendapatkan yang melebihi need & want.

Wow, adalah ekspresi customer uang tidak hanya terkesan namun juga terkejut sehingga akan muncul ekspresi untuk melakukan positive advocacy karena customer mendapatkan sesuatu yang melebihi ekspektasi.


Tuesday, August 19, 2025

How To Sell Your Art Online

Oleh : Cory Huff

Penerbit : Bentang Pustaka, 2017
Tebal : 188 halaman


Buku How To Sell Your Art Online yang ditulis oleh Cory Huff merupakan panduan praktis bagi para seniman, ilustrator, dan kreator yang ingin memasarkan karya seni mereka melalui dunia digital. Huff, seorang ahli pemasaran seni dan pendiri The Abundant Artist, menekankan bahwa era internet telah membuka peluang besar bagi seniman untuk menjual karya mereka secara langsung kepada audiens tanpa harus sepenuhnya bergantung pada galeri seni atau perantara tradisional.

Dalam buku ini, Cory Huff membahas langkah-langkah membangun identitas dan brand sebagai seorang seniman. Ia menekankan pentingnya menemukan cerita pribadi di balik karya seni, karena narasi itulah yang membuat orang terhubung secara emosional dan akhirnya tertarik membeli. Huff menjelaskan bahwa seni bukan hanya soal visual, tetapi juga tentang pesan, pengalaman, dan keunikan yang dikemas dalam sebuah cerita.

Selain itu, buku ini memberikan strategi praktis tentang bagaimana membuat website pribadi yang profesional, memanfaatkan media sosial sebagai sarana membangun komunitas, hingga teknik pemasaran konten yang efektif untuk memperluas jangkauan audiens. Huff juga menyoroti pentingnya email marketing sebagai salah satu cara menjaga hubungan jangka panjang dengan kolektor atau calon pembeli.

Yang menarik, Huff tidak hanya membahas sisi teknis pemasaran, tetapi juga mindset seorang seniman. Ia mendorong seniman untuk percaya diri, menghargai karya mereka sendiri, serta menetapkan harga yang adil sesuai dengan nilai seni yang diciptakan. Baginya, menjual karya seni adalah tentang membangun relasi, bukan sekadar transaksi.

Secara keseluruhan, How To Sell Your Art Online adalah buku yang menginspirasi sekaligus membekali seniman dengan keterampilan praktis dalam mengelola bisnis seni di dunia digital. Buku ini memadukan teori pemasaran modern dengan pemahaman mendalam tentang dunia seni, sehingga menjadi panduan yang relevan bagi seniman yang ingin mandiri, sukses, dan diakui di era online.

Wednesday, August 13, 2025

Wednesday, August 6, 2025

Tuesday With Morrie

Oleh : Mitch Albom
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2006
Tebal : 209 halaman



Tuesdays with Morrie adalah sebuah memoar karya Mitch Albom, seorang wartawan spesialis bidang olahraga, yang menceritakan ‘kelas terakhir’-nya bersama Morrie Schwartz, dosen pembimbingnya dahulu semasa mengambil kuliah sosiologi di Brandeis University. 

Dahulu, keduanya begitu dekat untuk ukuran mahasiswa dan dosen — sering bertemu informal dan makan siang bersama di sudut-sudut kampus. Mitch pun mengambil seluruh kelas yang diajarkan Morrie dan turut belajar tentang kehidupan darinya. 

Hubungan ini sama sekali menghilang setelah Mitch lulus kuliah dan terbawa arus duniawi — menaiki tangga karir jurnalisme popular yang penuh dinamika.

Dalam kehidupan, kita kerap berpikir bahwa segala sesuatu harus ditata dalam garis lurus: sukses datang dari kerja keras, bahagia berasal dari senyum, kekuatan lahir dari kemenangan. Namun dalam buku Tuesday with Morrie, kita diajak untuk melihat kenyataan yang jauh lebih dalam, lebih jujur, dan kadang menyakitkan—bahwa hidup sering kali justru mengajarkan kita lewat kebalikannya.

Ini yang disebut oleh Morrie Schwartz sebagai Law of Opposite: hukum kehidupan yang menyatakan bahwa kita hanya bisa benar-benar memahami satu hal ketika kita juga mengenali dan mengalami lawannya. 

Kita baru benar-benar tahu makna kebahagiaan ketika kita pernah larut dalam kesedihan. Kita hanya bisa menghargai waktu ketika kita sadar bahwa waktu itu terbatas. Dan kita baru benar-benar hidup, justru ketika kita menerima bahwa kematian adalah bagian dari perjalanan.

Morrie, yang menghabiskan hari-hari terakhirnya berjuang melawan penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), menunjukkan pada kita bahwa tubuh yang lemah tak berarti kehilangan makna hidup. 

Di balik kelemahan fisik yang semakin memburuk, justru muncul kekuatan batin dan kejernihan pikiran yang luar biasa. Dengan jujur ia berkata: “Once you learn how to die, you learn how to live.”

Ungkapan itu bukan tentang menyerah, melainkan tentang kesadaran. Bahwa selama ini kita terlalu sibuk menolak hal-hal yang menyakitkan, tanpa sadar bahwa di situlah pelajaran sesungguhnya berada. 
Kita terlalu takut pada kesedihan, sehingga lupa bahwa air mata bisa membersihkan jiwa. Kita terlalu takut pada kehilangan, sehingga tak sempat mencintai dengan sungguh-sungguh.

Sebagian orang baru benar-benar belajar tentang hidup saat mereka berdiri di tepi kematian. Dan dari situ kita memahami, sebagaimana Morrie berkata, bahwa “Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup.” 

Kematian bukan akhir yang menakutkan jika kita sudah menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kasih. Justru, kesadaran akan kematian adalah guru yang paling jujur tentang bagaimana seharusnya kita hidup.

Dalam pertemuan-pertemuan penuh makna antara Mitch Albom dan gurunya, Morrie Schwartz, kita diajak menyelami nilai-nilai mendasar tentang kehidupan yang sering kali kita lupakan. Salah satunya adalah keikhlasan menerima diri. 

Terimalah apa pun yang sanggup kau kerjakan dan apa yang tak sanggup kau kerjakan. Dunia ini terlalu keras untuk dilawan dengan ego, dan terlalu luas untuk dijelajahi dengan penyesalan terus-menerus. Maka dari itu, pelajarilah seni memaafkan: memaafkan orang lain, dan terlebih dahulu memaafkan diri sendiri.

Masa lalu, bagaimanapun bentuknya, bukanlah musuh. Ia adalah guru yang sudah selesai mengajar. Kita tak perlu menyangkal atau menyingkirkannya, cukup dengan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan. Sebab beban hidup bukan hanya soal apa yang kita bawa, tapi juga tentang apa yang belum kita lepaskan.

Dan dari semua pilar yang menopang hidup, Morrie menunjukkan satu yang paling penting dan abadi: keluarga. Di tengah dunia yang mengejar ketenaran dan kekayaan, keluarga adalah satu-satunya pondasi kokoh yang membuat kita tetap waras dan bertahan. 

Keluarga tidak hanya memberi cinta, tapi juga rasa aman spiritual—sebuah perisai batin yang tak bisa digantikan oleh apa pun. Saat seseorang jatuh sakit, yang ia panggil bukanlah nama-nama di dunia kerja atau sorak penonton, melainkan orang-orang yang mencintainya tanpa syarat.

Dalam pernikahan pun kita diuji. Kita tidak hanya hidup bersama orang lain, tapi juga belajar tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Kita belajar tentang batas: mana yang harus disesuaikan, dan mana yang harus tetap dijaga. Pernikahan, seperti hidup, adalah tentang menerima kenyataan, bukan membentuk kenyataan sesuai kemauan ego.

Di akhir hayat, Morrie tidak meninggalkan warisan dalam bentuk properti atau gelar. Ia meninggalkan hikmah. Dan dari hikmah itulah kita paham, bahwa hidup yang bermakna bukan tentang seberapa tinggi kita berdiri, tapi seberapa dalam kita menyentuh hati orang lain. 

Bahwa hidup bukan tentang berapa banyak yang kita raih, tapi berapa banyak yang bisa kita lepaskan dengan tenang.

Hukum kebalikan ini bukan untuk membuat kita menderita, tetapi justru untuk menyeimbangkan kita. Karena hidup bukan tentang mengejar satu sisi dan menghindari sisi lain. Hidup adalah tentang menerima dualitas—terang dan gelap, tawa dan tangis, harapan dan kehilangan—sebagai satu kesatuan.

Dalam percakapannya dengan Mitch, Morrie tidak menawarkan solusi instan atau motivasi kosong. Ia justru menyuguhkan kehadiran, keberanian untuk merasakan, dan kejujuran untuk mengakui bahwa menjadi manusia bukanlah tentang selalu kuat, tetapi tentang tahu kapan kita rapuh, dan tetap memilih untuk berjalan.

Jadi, jika hari ini hidup terasa berat, ingatlah bahwa mungkin kamu sedang berada di sisi kebalikan dari sesuatu yang lebih besar. Dan di situlah ruang belajar terbuka. Karena seperti kata Morrie, “You can't feel truly happy if you've never been truly sad.”

Maka tak usah panik. Biarkan hidup membawamu ke sisi lain yang tak nyaman. Karena di sanalah, sering kali, pelajaran terbaik tersimpan.

Featured Post

Wow Marketing

Oleh : Hermawan Kartajaya Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2015 Tebal : 239 halaman Buku Wow Marketing karya Hermawan Kartajaya menghadir...

Related Posts