Wednesday, August 27, 2025

Wow Marketing

Oleh : Hermawan Kartajaya

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2015

Tebal : 239 halaman


Marketing 1.0 : Product centric marketing, dimana objektif perusahaan adalah menjual produk

Marketing 2.0 : Customer oriented marketing, dimana objektif perusahaan adalah memuaskan dan membuat customer loyal

Marketing 3.0 : Value driven marketing, dimana objektif perusahaan adalah membuat dunia yang lebih baik


Boo, adalah ekspresi customer yang mengalami kejadian menyebalkan. Proses recovery dari customer yang kecewa adalah sangat mahal. Mereka bisa dengan mudah mempengaruhi customer dan calon customer yang lain.

Argh, adalah ekspresi customer yang kecewa, diam dan langsung pergi. Mereka tidak akan datang lagi dan meninggalkan tanpa diketahui.

OK, adalah ekspresi customer yang tidak merasa tidak puas, tapi tidak merasa puas juga. Jika mereka bercerita, tidak akan ada yang merasa spesial juga.

Aha, adalah ekspresi customer yang tidak hanya terpapar dengan produk, tapi juga eksperience dari layanan. Mereka terkesan karena mendapatkan yang melebihi need & want.

Wow, adalah ekspresi customer uang tidak hanya terkesan namun juga terkejut sehingga akan muncul ekspresi untuk melakukan positive advocacy karena customer mendapatkan sesuatu yang melebihi ekspektasi.


Tuesday, August 19, 2025

How To Sell Your Art Online

Oleh : Cory Huff

Penerbit : Bentang Pustaka, 2017
Tebal : 188 halaman


Buku How To Sell Your Art Online yang ditulis oleh Cory Huff merupakan panduan praktis bagi para seniman, ilustrator, dan kreator yang ingin memasarkan karya seni mereka melalui dunia digital. Huff, seorang ahli pemasaran seni dan pendiri The Abundant Artist, menekankan bahwa era internet telah membuka peluang besar bagi seniman untuk menjual karya mereka secara langsung kepada audiens tanpa harus sepenuhnya bergantung pada galeri seni atau perantara tradisional.

Dalam buku ini, Cory Huff membahas langkah-langkah membangun identitas dan brand sebagai seorang seniman. Ia menekankan pentingnya menemukan cerita pribadi di balik karya seni, karena narasi itulah yang membuat orang terhubung secara emosional dan akhirnya tertarik membeli. Huff menjelaskan bahwa seni bukan hanya soal visual, tetapi juga tentang pesan, pengalaman, dan keunikan yang dikemas dalam sebuah cerita.

Selain itu, buku ini memberikan strategi praktis tentang bagaimana membuat website pribadi yang profesional, memanfaatkan media sosial sebagai sarana membangun komunitas, hingga teknik pemasaran konten yang efektif untuk memperluas jangkauan audiens. Huff juga menyoroti pentingnya email marketing sebagai salah satu cara menjaga hubungan jangka panjang dengan kolektor atau calon pembeli.

Yang menarik, Huff tidak hanya membahas sisi teknis pemasaran, tetapi juga mindset seorang seniman. Ia mendorong seniman untuk percaya diri, menghargai karya mereka sendiri, serta menetapkan harga yang adil sesuai dengan nilai seni yang diciptakan. Baginya, menjual karya seni adalah tentang membangun relasi, bukan sekadar transaksi.

Secara keseluruhan, How To Sell Your Art Online adalah buku yang menginspirasi sekaligus membekali seniman dengan keterampilan praktis dalam mengelola bisnis seni di dunia digital. Buku ini memadukan teori pemasaran modern dengan pemahaman mendalam tentang dunia seni, sehingga menjadi panduan yang relevan bagi seniman yang ingin mandiri, sukses, dan diakui di era online.

Wednesday, August 13, 2025

Wednesday, August 6, 2025

Tuesday With Morrie

Oleh : Mitch Albom
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2006
Tebal : 209 halaman



Tuesdays with Morrie adalah sebuah memoar karya Mitch Albom, seorang wartawan spesialis bidang olahraga, yang menceritakan ‘kelas terakhir’-nya bersama Morrie Schwartz, dosen pembimbingnya dahulu semasa mengambil kuliah sosiologi di Brandeis University. 

Dahulu, keduanya begitu dekat untuk ukuran mahasiswa dan dosen — sering bertemu informal dan makan siang bersama di sudut-sudut kampus. Mitch pun mengambil seluruh kelas yang diajarkan Morrie dan turut belajar tentang kehidupan darinya. 

Hubungan ini sama sekali menghilang setelah Mitch lulus kuliah dan terbawa arus duniawi — menaiki tangga karir jurnalisme popular yang penuh dinamika.

Dalam kehidupan, kita kerap berpikir bahwa segala sesuatu harus ditata dalam garis lurus: sukses datang dari kerja keras, bahagia berasal dari senyum, kekuatan lahir dari kemenangan. Namun dalam buku Tuesday with Morrie, kita diajak untuk melihat kenyataan yang jauh lebih dalam, lebih jujur, dan kadang menyakitkan—bahwa hidup sering kali justru mengajarkan kita lewat kebalikannya.

Ini yang disebut oleh Morrie Schwartz sebagai Law of Opposite: hukum kehidupan yang menyatakan bahwa kita hanya bisa benar-benar memahami satu hal ketika kita juga mengenali dan mengalami lawannya. 

Kita baru benar-benar tahu makna kebahagiaan ketika kita pernah larut dalam kesedihan. Kita hanya bisa menghargai waktu ketika kita sadar bahwa waktu itu terbatas. Dan kita baru benar-benar hidup, justru ketika kita menerima bahwa kematian adalah bagian dari perjalanan.

Morrie, yang menghabiskan hari-hari terakhirnya berjuang melawan penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), menunjukkan pada kita bahwa tubuh yang lemah tak berarti kehilangan makna hidup. 

Di balik kelemahan fisik yang semakin memburuk, justru muncul kekuatan batin dan kejernihan pikiran yang luar biasa. Dengan jujur ia berkata: “Once you learn how to die, you learn how to live.”

Ungkapan itu bukan tentang menyerah, melainkan tentang kesadaran. Bahwa selama ini kita terlalu sibuk menolak hal-hal yang menyakitkan, tanpa sadar bahwa di situlah pelajaran sesungguhnya berada. 
Kita terlalu takut pada kesedihan, sehingga lupa bahwa air mata bisa membersihkan jiwa. Kita terlalu takut pada kehilangan, sehingga tak sempat mencintai dengan sungguh-sungguh.

Sebagian orang baru benar-benar belajar tentang hidup saat mereka berdiri di tepi kematian. Dan dari situ kita memahami, sebagaimana Morrie berkata, bahwa “Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup.” 

Kematian bukan akhir yang menakutkan jika kita sudah menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kasih. Justru, kesadaran akan kematian adalah guru yang paling jujur tentang bagaimana seharusnya kita hidup.

Dalam pertemuan-pertemuan penuh makna antara Mitch Albom dan gurunya, Morrie Schwartz, kita diajak menyelami nilai-nilai mendasar tentang kehidupan yang sering kali kita lupakan. Salah satunya adalah keikhlasan menerima diri. 

Terimalah apa pun yang sanggup kau kerjakan dan apa yang tak sanggup kau kerjakan. Dunia ini terlalu keras untuk dilawan dengan ego, dan terlalu luas untuk dijelajahi dengan penyesalan terus-menerus. Maka dari itu, pelajarilah seni memaafkan: memaafkan orang lain, dan terlebih dahulu memaafkan diri sendiri.

Masa lalu, bagaimanapun bentuknya, bukanlah musuh. Ia adalah guru yang sudah selesai mengajar. Kita tak perlu menyangkal atau menyingkirkannya, cukup dengan menerimanya sebagai bagian dari perjalanan. Sebab beban hidup bukan hanya soal apa yang kita bawa, tapi juga tentang apa yang belum kita lepaskan.

Dan dari semua pilar yang menopang hidup, Morrie menunjukkan satu yang paling penting dan abadi: keluarga. Di tengah dunia yang mengejar ketenaran dan kekayaan, keluarga adalah satu-satunya pondasi kokoh yang membuat kita tetap waras dan bertahan. 

Keluarga tidak hanya memberi cinta, tapi juga rasa aman spiritual—sebuah perisai batin yang tak bisa digantikan oleh apa pun. Saat seseorang jatuh sakit, yang ia panggil bukanlah nama-nama di dunia kerja atau sorak penonton, melainkan orang-orang yang mencintainya tanpa syarat.

Dalam pernikahan pun kita diuji. Kita tidak hanya hidup bersama orang lain, tapi juga belajar tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Kita belajar tentang batas: mana yang harus disesuaikan, dan mana yang harus tetap dijaga. Pernikahan, seperti hidup, adalah tentang menerima kenyataan, bukan membentuk kenyataan sesuai kemauan ego.

Di akhir hayat, Morrie tidak meninggalkan warisan dalam bentuk properti atau gelar. Ia meninggalkan hikmah. Dan dari hikmah itulah kita paham, bahwa hidup yang bermakna bukan tentang seberapa tinggi kita berdiri, tapi seberapa dalam kita menyentuh hati orang lain. 

Bahwa hidup bukan tentang berapa banyak yang kita raih, tapi berapa banyak yang bisa kita lepaskan dengan tenang.

Hukum kebalikan ini bukan untuk membuat kita menderita, tetapi justru untuk menyeimbangkan kita. Karena hidup bukan tentang mengejar satu sisi dan menghindari sisi lain. Hidup adalah tentang menerima dualitas—terang dan gelap, tawa dan tangis, harapan dan kehilangan—sebagai satu kesatuan.

Dalam percakapannya dengan Mitch, Morrie tidak menawarkan solusi instan atau motivasi kosong. Ia justru menyuguhkan kehadiran, keberanian untuk merasakan, dan kejujuran untuk mengakui bahwa menjadi manusia bukanlah tentang selalu kuat, tetapi tentang tahu kapan kita rapuh, dan tetap memilih untuk berjalan.

Jadi, jika hari ini hidup terasa berat, ingatlah bahwa mungkin kamu sedang berada di sisi kebalikan dari sesuatu yang lebih besar. Dan di situlah ruang belajar terbuka. Karena seperti kata Morrie, “You can't feel truly happy if you've never been truly sad.”

Maka tak usah panik. Biarkan hidup membawamu ke sisi lain yang tak nyaman. Karena di sanalah, sering kali, pelajaran terbaik tersimpan.

Wednesday, July 30, 2025

Die With Zero

Oleh : Bill Perkins

Penerbit : Houghton Mifflin Harcourt Publishing, 2020

Tebal : 216 halaman


Hidup Sekarang, Nikmati Momen, dan Wariskan Pengalaman

Bill Perkins, seorang investor dan entrepreneur, menantang pandangan umum tentang keuangan dan warisan dalam bukunya Die With Zero. Ia memprovokasi kita dengan pertanyaan mendasar:

Untuk apa kita terus mengumpulkan uang, jika akhirnya mati dengan sisa kekayaan yang tak terpakai?

Alih-alih fokus menimbun kekayaan sepanjang hidup, Perkins menawarkan perspektif radikal: gunakan uang dan waktu kita secara bijak untuk membeli pengalaman, bukan akumulasi. Hidup bukan tentang menjadi “kaya” saat tua, tapi tentang menjadi kaya secara pengalaman di saat yang tepat.


Jangan Menunda Hidup

Perkins menyoroti bagaimana banyak orang menunda kesenangan dan pengalaman demi “masa pensiun” yang belum tentu datang. Mereka terus menabung, bekerja keras, dan hidup hemat, hanya untuk akhirnya terlalu tua, terlalu sakit, atau bahkan sudah meninggal sebelum bisa menikmati hasilnya.


Tujuan hidup bukanlah mati kaya, tetapi mati dengan nol – zero.

Artinya, pada akhir hayat, idealnya kita sudah menggunakan semua sumber daya yang kita miliki untuk hidup sepenuhnya, berbagi kepada orang lain, dan meninggalkan warisan berupa pengalaman, bukan sekadar harta.


Maknai hidup lewat pengalaman, bukan uang.

Uang hanyalah alat. Pengalamanlah yang menciptakan memori abadi. Uang yang tidak diubah menjadi pengalaman pada waktu yang tepat akan kehilangan nilainya.


Gunakan waktu dan energi sebaik mungkin.

Ada masa di mana kamu cukup sehat untuk naik gunung, jalan-jalan ke luar negeri, atau mulai bisnis impian. Waktu itu tidak datang dua kali. Jangan tunggu pensiun.


Waktu memiliki nilai lebih tinggi daripada uang.

Semakin tua, energi dan waktu kita menyusut. Gunakan masa muda untuk mengejar pengalaman yang lebih menantang secara fisik dan emosional.


Investasi pengalaman.

Alih-alih hanya investasi uang, fokuslah juga mengumpulkan “memory dividend” – kenangan dan kebijaksanaan dari pengalaman yang kamu jalani.


Distribusi warisan saat masih hidup.

Jangan menunggu mati untuk memberi. Anak-anak atau orang-orang yang kita cintai lebih membutuhkan bantuan saat mereka muda dan membangun kehidupan, bukan saat mereka sudah mapan.


Waktu terbaik untuk pengalaman berbeda-beda.

Ada momen terbaik untuk naik gunung, backpacker ke Eropa, belajar surfing, membangun bisnis, atau mengasuh cucu. Jika dilewatkan, momen itu tidak bisa diganti dengan uang.


Gunakan perencanaan hidup, bukan sekadar perencanaan keuangan.

Hidup harus dirancang seperti proyek besar, dengan prioritas yang berubah sesuai usia, bukan hanya akumulasi aset.


Tak ada kehormatan dalam menumpuk uang sampai mati.

Jika kamu mati dengan banyak uang di rekening, kemungkinan besar kamu menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk hidup lebih dalam.


Gunakan pendekatan net worth curve

Grafik kekayaan bersih seharusnya naik saat kamu membangun hidup, lalu mulai menurun setelah titik tertentu karena kamu mulai “membelanjakan hidup”, bukan sekadar menyimpannya.


Kritik terhadap Pola Hidup Tradisional

Perkins mengkritik pandangan konservatif keuangan yang terlalu fokus pada akumulasi dan warisan. Menurutnya, hal itu sering menyebabkan orang tidak berani mengambil risiko, bahkan untuk pengalaman sederhana yang bisa memperkaya jiwa. Ia menyarankan untuk membebaskan diri dari rasa bersalah ketika "membelanjakan" uang demi hidup yang lebih bermakna.


Hidup Sekarang, Bukan Nanti

Buku Die With Zero bukan mengajak kita untuk boros, tetapi menyeimbangkan hidup dengan pengalaman, makna, dan kebijaksanaan penggunaan uang. Ini bukan tentang kemewahan, tapi tentang keberanian memilih hidup yang penuh warna.

Bill Perkins tidak menyuruh semua orang menghabiskan uang secara impulsif. Ia justru mendorong kita untuk hidup dengan niat dan rencana, agar pada akhirnya kita tidak menyesal karena terlalu banyak menahan diri.

“The goal is not to die with everything, but to die having given everything you can—to yourself, your loved ones, and the world.”

Wednesday, July 23, 2025

Kelola Gaji Bisa Investasi Bisnis Properti

Oleh : Nasta Trilakshmi

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2021

Tebal : 169 halaman


Saat pandemi covid-19 lalu, banyak manusia yang terjangkiti kecemasan dan kepanikan (anxiety) terutama saat terjadi lockdown sehingga sampai terjadi panic buying terhadap alat kesehatan dan kebutuhan pokok.

Namun yang sangat mengkhawatirkan saat pandemi adalah banyaknya terjadi PHK, bahkan banyak juga perusahaan yang mengalami kebangkrutan.

Lebih baik bersusah-susah menyimpan daripada harus bersusah-susah cari utangan.

Ilmu financial planning jika diterapkan dengan konsisten dan disiplin akan membuat pengelolaan dana keluarga menjadi terarah.

Jangan menabung apa yang tersisa, tapi habiskan apa yang tersisa setelah menabungnya.

Dalam buku ini diberikan prinsip 10/20/30/40 untuk mengelola penghasilan yaitu 10% untuk kebaikan, 20% untuk masa depan, 30% untuk cicilan utang dan 40% untuk kebutuhan. 

Wednesday, July 16, 2025

What I Talk About When I Talk About Running

Oleh : Haruki Murakami

Penerbit : Bentang Pustaka, 2025

Tebal : 183 halaman

Tidak masalah sekecil apapun yang kita lakukan, namun jika itu konsisten kita lakukan maka hal tersebut akan mempunyai makna kontemplatif bahkan meditatif. Dalam berlari kita tidak hanya akan merasakan capek, namun juga bisa cedera, dan dalam berlari rasa sakit itu pasti namun penderitaan itu adalah pilihan.

Menulis tidak hanya merekam pikiran, namun juga dapat meredam perasaan.

Terkadang kita berlari untuk mendapatkan ruang hampa, dan dalam ruang hampa tersebut seringkali muncul pemikiran-pemikiran yang menjadi ilham dan inspirasi.

Tubuh adalah sebuah sistem yang praktis, kita harus membuat tubuh menjadi sakit dalam jangka waktu lama untuk mengerti, oleh karena itu agar menjadi kuat dalam berlari kita harus melakukan peningkatan latihan secara bertahap, sedikit demi sedikit.

Meski cukup latihan, namun saat melakukan event lari, rasa sakit tetap terasa. Tapi, setelah finish semua sakit yang didera saat lari akan hilang dan lupa. Kemudian langsung menyiapkan untuk menyongsong lari selanjutnya.

Itu lah hidup, suka duka akan mengalami pengulangan terus menerus.

Dalam menulis dan berlari, selain bakat ada 2 hal yang perlu diperhatikan yaitu fokus dan daya tahan. Menulis adalah pekerjaan mental, begitu pula dalam berlari, ini lebih pada olahraga mental dibandingkan fisik.

Ada satu lagi hal yang aku sepakati dalam buku ini, yang juga diamini oleh Dave Scott, atlet triatlon, bahwasanya dari 3 olahraga yaitu berenang, bersepeda dan berlari, adalah olahraga bersepeda yang merupakan olahraga paling tidak menyenangkan.

Berlari sudah menjadi bagian dari kebahagian kecil dalam hidupnya, tanpa kebahagian kecil tersebut, maka tidak akan ada motivasi untuk bangun pagi dan berlari.


Buku What I Talk About When I Talk About Running karya Haruki Murakami bukan hanya sekadar catatan seorang novelis tentang hobinya berlari, melainkan sebuah memoar reflektif yang menyatukan kehidupan fisik, mental, dan kreatif seorang penulis dalam satu garis panjang maraton kehidupan.

Melalui gaya menulis yang jujur, sederhana, dan kontemplatif, Murakami mengajak pembaca menyelami pikirannya selama bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai pelari jarak jauh dan novelis. Ia mengisahkan bagaimana ia mulai berlari pada usia 33 tahun, hampir bersamaan dengan ketika ia mulai menulis novel secara serius. Dalam pandangannya, menulis dan berlari memiliki irisan yang sama: keduanya menuntut kesabaran, konsistensi, kesendirian, dan ketahanan mental.

Buku ini mengandung banyak renungan tentang tubuh yang menua, tantangan batin dalam mempertahankan disiplin, serta bagaimana aktivitas fisik mampu memberi ruang untuk berpikir dan menciptakan. Murakami membagikan pengalamannya mengikuti berbagai lomba lari—termasuk triathlon dan ultramaraton 62 mil—sebagai bentuk metafora atas perjuangan menulis dan kehidupan itu sendiri.

Di sela-sela narasi berlari, Murakami juga menyinggung banyak aspek tentang kesunyian, kelelahan, dan pertanyaan mendalam tentang motivasi pribadi: mengapa ia terus menulis, mengapa ia tetap berlari, dan bagaimana semua itu membentuk siapa dirinya.

Dengan sentuhan khasnya yang melankolis namun penuh kejujuran, What I Talk About When I Talk About Running bukan hanya untuk para pelari atau penulis, melainkan untuk siapa saja yang mencari makna dalam rutinitas, perjuangan, dan keterbatasan diri. Ini adalah buku tentang menerima diri sendiri, tentang terus bergerak meskipun lambat, dan tentang bagaimana dalam sunyi langkah kaki, seseorang bisa mendengar isi hatinya sendiri dengan lebih jernih.

Featured Post

Wow Marketing

Oleh : Hermawan Kartajaya Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2015 Tebal : 239 halaman Marketing 1.0 : Product centric marketing, dimana obj...

Related Posts